Tabloid AGRINA volume 4 Edisi No. 99.18 Maret 2009

Tabloid AGRINA volume 4 Edisi No। 99.18 Maret 2009

Ketika mentari pagi mulai memancarkan kehangatannya, suara anakan dan indukan cucakrawa terdengar dari rumah di Jalan Salam I, Jakarta Barat, milik Safrudin.

Sang pemilik dibantu joki perawat burungnya tampak sedang asyik membersihkan sangkar dan memandikan burung. Setelah itu pria yang memulai hobinya memelihara burung sejak 1970-an tersebut memberi pakan pada burung dewasa dan meloloh atau menyuapi bayi-bayi cucakrawa yang baru berumur 5—7 hari. Menurutnya, menangkarkan cucakrawa memberinya dua kesenangan, yaitu mengisi hari-harinya selepas pensiun dari PLN dan menjaga cucakrawa dari kepunahan.

Hindari Stres

Mengecek setiap kandang, menjemur burung hasil tangkaran, dan memberi makan burung anakan, bagi Safrudin sangat mengasyikkan. “Perasaan cinta dan sayang pada burung adalah kunci utama keberhasilan menangkarkan burung cucakrawa,” ia mengawali paparannya tentang budidaya cucakrawa.

Berbeda dengan penangkaran burung kicauan lain yang tidak memerlukan kandang besar, cucakrawa butuh kandang cukup luas. Namun begitu, kata Safrudin, tidak ada ukuran kandang yang standar untuk penangkaran cucakrawa ini. Karena itu ia membangun dua kandang, masing-masing berkapasitas 8 dan 7 pasang. Satu kandang berukuran panjang 12 m, lebar, 2 m, dan tinggi 4 m.

Sepasang induk menempati kandang ukuran panjang 1,5 m, lebar 2 m, dan tinggi 4 m। “Denganukuran itu, burung akan lebih leluasa bergerak dan saat birahi kenyaman burung terjamin,”jelasnya